Rabu, 05 Oktober 2016

Uang Panai : Mahar atau Mahal?

Uang panai ini sudah pernah diangkat ke layar lebar, lho!
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pernikahan tidaklah bisa lepas dari namanya mahar. Mahar sendiri adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan.

Mahar berupa seperangkat alat shalat

Pernikahan adat Bugis, Sulawesi Selatan

Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan budaya warisan nenek moyang yang berbeda dimasing-masing daerah. Masing masing budaya tersebut mempunyai keunikan tersendiri yang saling terakulturasi dengan budaya-budaya lain. Budaya-budaya tersebut mempengaruhi segala aspek kehidupan. Seiring berjalannya waktu, tidak sedikit orang-orang yang mulai melupakan identitas budayanya sendiri karena sudah tergilas dengan peradaban zaman yang modern. Mereka beranggapan budaya modern lebih keren dan lebih up to date sehingga mereka mulai melupakan keunikan dari budaya warisan itu sendiri.

Suasana pernikahan adat Bugis, Sulawesi Selatan
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas salah satu contoh budaya yang unik dari suku saya berasal, yaitu Suku Bugis asal Sulawesi Selatan yang belum banyak diketahui kebanyakan orang, yaitu uang panai. Uang Panai dalam tradisi masyarakat Bugis sering disebut “uang naik” yang berarti sejumlah uang yang harus disediakan calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk keperluan dalam hal mengadakan pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang pernikahan itu sendiri. Uang Panai sendiri memiliki persamaan dan perbedaan dengan mahar. Persamaannya terletak pada kepada siapa uang tersebut ditujukan, baik uang panai maupun mahar keduanya sama-sama ditujukan dari pihak laki-laki kepada pihak mempelai wanita, sedangkan perbedaannya terletak pada prinsip dari uang panai dan mahar itu sendiri.
Uang Panai diperuntukkan untuk biaya penunjang pernikahan termasuk pesta dan segala macamnya yang merupakan bagian dari tradisi pernikahan, uang panai sendiri lahir dari budaya dan kebiasaan turun temurun sementara mahar adalah pemberian yang ditujukan untuk memenuhi syariat agama dan biasanya bukan berupa uang dan bersifat wajib. Selain itu juga, mahar merupakan hak perempuan yang tidak dapat dibagi dan dikembalikan kepada pihak laki-laki meskipun jika suatu saat nanti pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian. Contoh dari mahar itu sendiri adalah seperangkat alat salat dan mahar termasuk salah satu yang diucapkan saat akan nikah sementara uang panai sendiri tidak disebutkan dalam akad nikah.
Ilustrasi uang panai
Banyak orang yang beranggapan bahwa harga uang panai yang dibayarkan sangatlah mahal, padahal tinggi atau rendahnya harga tersebut bergantung pada kesepakatan diantara kedua belah pihak dan status sosial wanita yang akan dilamar. Status sosial tersebut mencakup beberapa hal seperti bagaimana latar belakangnya (keturunan bangsawan atau bukan), seberapa tinggi pendidikannya, posisi wanita tersebut dalam keluarga (anak tunggal, anak sulung, dsb), status sosial keluarganya, kecantikannya, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
Uang Panai tersebut biasanya diberikan saat upacara ‘Mappettuada’ yaitu salah satu upacara adat dimana saat itu merupakan tahapan acara setelah lamaran diterima sebelum pesta pernikaha. Pada acara tersebut dilakukan pertemuan antara kedua pihak di rumah calon mempelai wanita guna untuk membuat kesepakatan tentang acara-acara pernikahan seperti jadwal akad nikah, konsep pesta penikahan, dll.
Acara Mappettuada
Setiap budaya yang unik pasti mempunyai esensi dan manfaat, begitu pula uang panai ini. Manfaatnya sebagian sudah disebutkan di artikel di atas yaitu untuk biaya penunjang pesta pernikahan dan biaya-biaya lain yang mungkin diperlukan dalam rangka pernikahan. Bagi pihak mempelai laki-laki akan merasa bangga jika dapat memenuhi uang panai yang diminta dari pihak mempelai wanita, hal ini juga dapat menjadi standar kemakmuran mempelai pria tersebut sekaligus menggambarkan kualitas mempelai wanita. Jika uang panai tersebut berjumlah sedikit, pihak mempelai wanita akan merasa malu dan hal ini dapat menyangkut pada “budaya siri” di Suku Bugis. Jika uang panai tersebut masih tersisa cukup banyak setelah membiayai keperluan pernikahan, uang tersebut dapat menjadi milik kedua mempelai.
Jika ada seseorang yang bukan berasal dari Suku Bugis dan berniat untuk melamar wanita asal Suku Bugis, tetap akan dikenakan uang panai tersebut, karena uang panai itu merupakan bagian dari tradisi pernikahan adat Suku Bugis. Namun, besar atau kecilnya uang panai tersebut dapat dinegosiasikan oleh kedua belah pihak mempelai asalkan martabat mempelai wanita bisa dijaga dengan baik. Uang panai sendiri tidak bisa dibayarkan dengan sistem ‘cicilan’ karena uang tersebut merupakan uang yang sebagian besar diperuntukkan untuk membiayai kebutuhan pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang pernikahan itu sendiri, terlebih lagi jika pihak mempelai wanita tersebut berasal dari keluarga yang mampu dan berada.
Kesimpulan dari artikel ini adalah uang panai adalah salah satu tradisi yang berasal dari suku Bugis, Sulawesi Selatan yaitu sejumlah uang yang harus disediakan calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk keperluan dalam hal mengadakan pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang pernikahan itu sendiri. Banyak orang-orang awam yang mempunyai paradigma bahwa uang panai sangatlah mahal harganya padahal besar kecilnya jumlah uang panai tersebut bergantung pada keputusan dan negosiasi dari kedua belah pihak mempelai dan hukumnya wajib untuk seseorang yang ingin melamar wanita asli Suku Bugis, Makassar.

Foto sumber:

Sumber pertama berasal dari ayah saya sendiri

Sumber kedua berasal dari ibu saya sendiri

Daftar pustaka:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar