Uang panai ini sudah pernah diangkat ke layar lebar, lho! |
Pernikahan
adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua
orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma
hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi
menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan
adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum
agama tertentu pula. Pernikahan tidaklah bisa lepas dari namanya mahar. Mahar sendiri
adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya)
kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat
pernikahan. Istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar
adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan.
Mahar berupa seperangkat alat shalat |
Pernikahan adat Bugis, Sulawesi Selatan |
Indonesia
adalah negeri yang sangat kaya akan budaya warisan nenek moyang yang berbeda
dimasing-masing daerah. Masing masing budaya tersebut mempunyai keunikan
tersendiri yang saling terakulturasi dengan budaya-budaya lain. Budaya-budaya
tersebut mempengaruhi segala aspek kehidupan. Seiring berjalannya waktu, tidak
sedikit orang-orang yang mulai melupakan identitas budayanya sendiri karena
sudah tergilas dengan peradaban zaman yang modern. Mereka beranggapan budaya
modern lebih keren dan lebih up to date sehingga
mereka mulai melupakan keunikan dari budaya warisan itu sendiri.
Suasana pernikahan adat Bugis, Sulawesi Selatan |
Pada
kesempatan kali ini, saya akan membahas salah satu contoh budaya yang unik dari
suku saya berasal, yaitu Suku Bugis asal Sulawesi Selatan yang belum banyak
diketahui kebanyakan orang, yaitu uang panai. Uang Panai dalam tradisi
masyarakat Bugis sering disebut “uang naik” yang berarti sejumlah uang yang
harus disediakan calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk
keperluan dalam hal mengadakan pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang
pernikahan itu sendiri. Uang Panai sendiri memiliki persamaan dan perbedaan
dengan mahar. Persamaannya terletak pada kepada siapa uang tersebut ditujukan,
baik uang panai maupun mahar keduanya sama-sama ditujukan dari pihak laki-laki
kepada pihak mempelai wanita, sedangkan perbedaannya terletak pada prinsip dari
uang panai dan mahar itu sendiri.
Uang
Panai diperuntukkan untuk biaya penunjang pernikahan termasuk pesta dan segala
macamnya yang merupakan bagian dari tradisi pernikahan, uang panai sendiri lahir dari budaya dan kebiasaan turun temurun sementara mahar adalah
pemberian yang ditujukan untuk memenuhi syariat agama dan biasanya bukan berupa
uang dan bersifat wajib. Selain itu juga, mahar merupakan hak perempuan yang tidak dapat dibagi dan dikembalikan kepada pihak laki-laki meskipun jika suatu saat nanti pernikahan tersebut berakhir dengan perceraian. Contoh dari mahar itu sendiri adalah seperangkat alat
salat dan mahar termasuk salah satu yang diucapkan saat akan nikah sementara
uang panai sendiri tidak disebutkan dalam akad nikah.
Ilustrasi uang panai |
Banyak
orang yang beranggapan bahwa harga uang panai yang dibayarkan sangatlah mahal,
padahal tinggi atau rendahnya harga tersebut bergantung pada kesepakatan
diantara kedua belah pihak dan status sosial wanita yang akan dilamar. Status
sosial tersebut mencakup beberapa hal seperti bagaimana latar belakangnya
(keturunan bangsawan atau bukan), seberapa tinggi pendidikannya, posisi wanita
tersebut dalam keluarga (anak tunggal, anak sulung, dsb), status sosial
keluarganya, kecantikannya, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
Uang
Panai tersebut biasanya diberikan saat upacara ‘Mappettuada’ yaitu salah satu
upacara adat dimana saat itu merupakan tahapan acara setelah lamaran diterima
sebelum pesta pernikaha. Pada acara tersebut dilakukan pertemuan antara kedua
pihak di rumah calon mempelai wanita guna untuk membuat kesepakatan tentang
acara-acara pernikahan seperti jadwal akad nikah, konsep pesta penikahan, dll.
Acara Mappettuada |
Setiap
budaya yang unik pasti mempunyai esensi dan manfaat, begitu pula uang panai
ini. Manfaatnya sebagian sudah disebutkan di artikel di atas yaitu untuk biaya
penunjang pesta pernikahan dan biaya-biaya lain yang mungkin diperlukan dalam
rangka pernikahan. Bagi pihak mempelai laki-laki akan merasa bangga jika dapat
memenuhi uang panai yang diminta dari pihak mempelai wanita, hal ini juga dapat
menjadi standar kemakmuran mempelai pria tersebut sekaligus menggambarkan
kualitas mempelai wanita. Jika uang panai tersebut berjumlah sedikit, pihak
mempelai wanita akan merasa malu dan hal ini dapat menyangkut pada “budaya
siri” di Suku Bugis. Jika uang panai tersebut masih tersisa cukup banyak
setelah membiayai keperluan pernikahan, uang tersebut dapat menjadi milik kedua
mempelai.
Jika
ada seseorang yang bukan berasal dari Suku Bugis dan berniat untuk melamar
wanita asal Suku Bugis, tetap akan dikenakan uang panai tersebut, karena uang
panai itu merupakan bagian dari tradisi pernikahan adat Suku Bugis. Namun,
besar atau kecilnya uang panai tersebut dapat dinegosiasikan oleh kedua belah
pihak mempelai asalkan martabat mempelai wanita bisa dijaga dengan baik. Uang
panai sendiri tidak bisa dibayarkan dengan sistem ‘cicilan’ karena uang
tersebut merupakan uang yang sebagian besar diperuntukkan untuk membiayai
kebutuhan pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang pernikahan itu sendiri,
terlebih lagi jika pihak mempelai wanita tersebut berasal dari keluarga yang
mampu dan berada.
Kesimpulan
dari artikel ini adalah uang panai adalah salah satu tradisi yang berasal dari
suku Bugis, Sulawesi Selatan yaitu sejumlah uang yang harus disediakan calon
mempelai pria kepada calon mempelai wanita untuk keperluan dalam hal mengadakan
pesta pernikahan dan biaya-biaya penunjang pernikahan itu sendiri. Banyak orang-orang
awam yang mempunyai paradigma bahwa uang panai sangatlah mahal harganya padahal
besar kecilnya jumlah uang panai tersebut bergantung pada keputusan dan
negosiasi dari kedua belah pihak mempelai dan hukumnya wajib untuk seseorang
yang ingin melamar wanita asli Suku Bugis, Makassar.
Foto sumber:
Sumber pertama berasal dari ayah saya sendiri |
Sumber kedua berasal dari ibu saya sendiri
Daftar pustaka:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar